Air mata seorang penjahat

Kisah Si Poltak, Anak na Lilu

“Selamat ya, Pak... Semoga ke depan menjadi lebih baik. Kiranya Tuhan selalu menyertai langkah Bapak.”

Begitulah ucapan lirih dari seorang sipir penjara, menyematkan harapan pada Poltak, seorang pria lajang, sederhana, yang baru saja menuntaskan tujuh tahun masa hukumannya.

Saat melangkah keluar dari gerbang penjara, Poltak menarik napas panjang. Ada kelegaan yang tak bisa disembunyikan. Tujuh tahun ia hidup dalam tempa dan gelisah, mencoba mengenali dirinya, menakar penyesalan dan menumbuhkan harapan.

Kini ia bebas. Tapi hatinya tertambat pada satu kerinduan yang tak bisa ditunda lagi, ia ingin pulang. Ia ingin bertemu Ibunya.

“Mak... putramu pulang. Ini aku, Mak. Ampuni anakmu ini...”

Ia bersimpuh, tubuhnya gemetar, air matanya mengalir tanpa henti. Dalam diam, ia mengingat luka-luka lama yang pernah ia goreskan, dan betapa dalam penyesalannya. Sang Ibu tak berkata banyak. Ia hanya merentangkan tangannya, lalu memeluk anak bungsunya erat-erat.

“Sudahlah, Nak... pulangmu adalah jawaban doaku. Tak ada yang lebih penting dari kembalinya hatimu ke jalan yang benar,” bisiknya lembut, penuh keikhlasan.

“Belum terlambat untuk menjadi orang baik, Anakku. Tak sanggup Ibu melihatmu hidup dalam penderitaan terus-menerus. Mulailah lagi, dari mana pun kamu berdiri sekarang.”

Petuah Ibu yang sederhana namun dalam, menjadi lentera kecil bagi langkah Poltak yang masih gontai. Dengan suara lirih namun mantap, Poltak berjanji,

“Akan kubangun hidup yang baru. Kubaktikan sisa nafasku untuk kebaikan. Untuk Ibu. Untuk sesamaku.”

Namun hidup tak selalu memberi sambutan hangat. Yang datang justru cibiran, tatapan sinis, dan ketidakpercayaan dari sekitar. Luka-luka lama seolah dikorek kembali. Poltak terdiam. Dalam sepi, ia bergumul dengan rasa kecewa. Ada saat di mana hatinya kembali gelap, terbakar dendam, ingin melemparkan amarah ke dunia yang menolaknya.

Tapi malam membawa keheningan, dan keheningan membawanya pada doa.

“Ya Tuhan... ke mana harus kubawa kepedihan ini? Langit pun seolah tak sudi menatapku. Siapakah yang mau mendengarkan keluhku? Semua jalan seakan tertutup hanya karena masa laluku...”

Dalam lirih batinnya, satu hal ia sadari, Ibu tak pernah pergi. Tak pernah menjauh. Tak pernah lelah menanti.

“Apakah aku harus dikucilkan selamanya, Tuhan? Apakah tak ada ruang untuk orang sepertiku?”

Dan ia kembali mengingat Ibu, dialah satu-satunya yang memeluk tanpa syarat, menerima tanpa ragu, mencintai tanpa batas. Dalam bentuk apa pun anak itu kembali, bahkan dengan kepingan yang nyaris tak utuh, seorang ibu akan menyusunnya kembali, dengan cinta dan harap yang tak pernah padam.

Itulah kisah Si Poltak, anak na lilu, yang pernah jatuh, tersesat, namun tetap punya rumah untuk kembali.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cinta disatu ketika

ada apa dengan Krisna? [selain semua hal yang nggak penting]"

mamakku, oppung si windy || antara rekonstruksi hati